Rabu, 15 April 2009

WaKaF

“ WAKAF “

v Pengertian Wakaf

Wakaf ialah suatu tindakan penahanan dari penggunaan dan penyerahan asset dimana seseorang dapat memanfaatkan atau menggunakan hasilnya untuk tujuan amal, sepanjang barang tersebut masih ada.

Sedangkan Wakaf menurut UU No 41 Tahun 2004 ialah perbuatan hokum wakif untuk memisahkan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk di manfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syari’ah.[1]

v Macam-macam Wakaf

1) Wakaf Ahli

Ialah wakaf yang ditujukan kepada orang-orang tertentu, seseorang atau lebih, keluarga si wakaf atau bukan.

2) Wakaf Khairi

Ialah wakaf yang secara tegas untuk kepentingan agama atau masyarakat.

v Rukun Wakaf

1) Wakif (orang yang mewakafkan harta)[2]

2) Mauquf bih (barang/harta yang di wakafkan)

3) Mauquf alaih’ (pihak yang di beri wakaf/peruntukkan wakaf)

4) Shighat (pernyataan atau ikrar wakaf sebagai suatu kehendak untuk mewakafkan sebagian harta bendanya)

v Syarat Wakaf

1) Merdeka[3]

2) Berakal sehat[4]

3) Dewasa/Baligh[5]

4) Tidak berada di bawah pengampuan (boros/lalai)[6]

v Sejarah Wakaf

Wakaf di kenal sejak masa Rasulullah saw karena wakaf di Syariatkan setelah Nabi saw berhijrah ke Madinah, pada tahun kedua Hijriah.

Dan ada dialog antar Ibnu Umar ra dengan Nabi saw, Umar berkata “Wahai Rasulullah saw, saya mendapat sebidang tanah di Khabair, saya belum mendapatkan harta sebaik itu, maka apakah yang engkau perintahkan kepadaku?” Rasulullah saw bersabda “Bila engkau suka, engkau tahan (pokoknya) tanah itu, dan engkau sedekahkan hasilnya. “Kemudian Umar menyedekahkan (hasil pengelolaan tanah) kepada orang-orang fakir, kaum kerabat, hamba sahaya, sabilillah, ibnu sabil dan tamu. Dan tidak di larang bagi yang yang mengelola (nazhir) wakaf makan dari hasilnya dengan tidak bermaksud menumpuk harta”. (HR. Muslim)[7]

v Dasar Hukum Wakaf

1) Al-Qur’an

- Al-Hajj :77

- Al-Imran : 92

- Al-Baqarah : 261

2) Sunah Rasulullah

Dari Abu Hurairah ra, Sesungguhnya Rasulullah saw bersabda “Apabila anak Adam (manusia) meninggal dunia, maka putuslah amalnya kecuali 3 perkara: shadaqah jariyah, ilmu yang bermanfaat dan anak shaleh yang mendo’akan orang tuanya”. (HR.Muslim)

Adapun penafsiran shodaqoh jariyah dalam hadits tersebut adalah di maksudkan ke bab wakaf, karena para ulama menafsirkan shodaqoh jariyah dengan wakaf. (Imam Muhammad Ismail al-Kahlani, tt 87)

3) Dasar Hukum Pemerintahan RI

a. UU No 41 Tahun 2004[8]

- ketentuan umum dari pasal 2

- pasal 3, pasal 5, pasal 6, pasal 7, pasal 9, pasal 11, pasal 42, pasal 40,

- pasal 41 ayat 3, pasal 25, pasal 25, pasl 47 & 48, pasal 62, pasal 67

- pasal 69

b. UU Pokok Agraria[9]

- pasal 5 UUPA

- pasal 14 ayat (1)

- pasal 49 UUPA

c. Peraturan Pemerintah No.42 Tahun 2006[10]

- pasal 14, pasal 21, pasal 31, pasal 39

- pasal 41, pasal 46, pasal 66, pasal 68

d. Inpres No.1 Tahun 1991 Tentang Komplikasi Hukum Islam (KHI)[11]

- obyek wakaf (PP No.28 Tahun 1977)

- sumpah nazhir (pasal 219 ayat 4)

- jumlah nazhir (pasal 219 ayat 5)

- perubahan benda wakaf (pasal 225)

- pengawasan nazhir

- pengawasan terhadap pelaksanaan tugas tanggung jawab nazhir (pasal

227)

- peranan majlis ulama dan camat (pasal 291 ayat 3 dan 5)

v Bentuk Wakaf

1) Wakaf benda bergerak

2) Wakaf benda tidak bergerak

3) Wakaf tunai (uang) ; Penyerahan hak milik berupa uang tunai kepada seseorang/nadzir dengan ketentuan bahwa hasil/manfaatnya di gunakan untuk hal-hal yang sesuai dengan ajaran syariat islamdengan tidak mengurangi/menghilangkan jumlah pokoknya.

v Kegiatan Yang Dilakukan Wakaf[12]

Kegiatan yang telah di lakukan oleh lembaga ini di Indonesia ialah untuk pembangunan pesantren, untuk kegiatan social, untuk pendidikan dll. Dan dalam bidang ekonominya yaitu melakukan ekonomi produktif untuk pemberdayaan melalui wakaf. Untuk saat ini yang lebih banyak untuk masalah pendidikan.

v Sistem Wakaf[13]

Menggunakan pola tradisional (sistem kepercayaan). Dengan adanya UU Wakaf, agar wakaf di atur secara produktif pemberdayaannya, semisal bikin plang-plang wakaf. Meskipun tidak semua harta wakaf di produktifkan.

v Struktur Organisasi[14]

1) Badan hukum ; koperasi, BMT dll

2) Organisasi : NU, Muhammadiyah dll

3) Perseorangan ; minimal 3 orang (1 ketua, 1 sekretaris dam 1 anggota)

v Kendala-kendala Wakaf[15]

1) Paradigma pengelolaan wakaf saat ini untuk produktif masih terkait

dengan paham tradisional

2) Banyak harta benda wakaf yang terletak di tempat yang tidak strategis

3) Lemahnya political will pemegang otoriter

4) SDM (sumber daya manusia), menjadi pengelola wakaf (nazhir) masih propesi sambilan, seharusnya nazhir menjadikan ini sebagai propesi yang utama. Nazhir wakaf harusnya berdasi, sebab kalau masih menggunakan sarung, masih terikat dengan tradisional.[16]

v Strategi

1) Regulasi, UU yang mengatur terkait masalah wakaf badan bergerak.[17]

2) Wakaf produktif, semisal rs Islam Malang, Wakaf Pertokoan Center di Cirebon, Rumah Kost Muslim di Bali. Dan hasilnya untuk kepentingan masyarakat.

3) Optimalisasi UU Otonomi daerah dan perda[18]

4) Pembentukan kemitraan usaha

5) Penerbitan sertifikat wakaf tunai

6) Penerbitan sertifikat wakaf investasi

7) Contoh pemberdayaan wakaf produktif

v Prospek Ke Depan

Wakaf di ibaratkan “Harimau Lapar”[19] , artinya wakaf itu memiliki peluang yang sangat besar yang belum bangun, dan apabila di bangunkan bisa menjadi penopang ekonomi social yang sangat besar .

v Prinsip-prinsip Pengelolaan Yang di Gunakan[20]

1) Amanah

2) Aspiratif

3) Transparansif

v Kontribusi Wakaf

Kontribusi wakaf sangatlah jelas, karena wakaf itu substansi barangnya tidak boleh berkurang.[21] Dan kontribusi wakaf untuk perekonomian umat ialah yang harus terus di kembangkan adalah berupa wakaf tunai (uang), karena wakaf tunai memiliki kekuatan yang bersifat umum, dimana setiap orang bisa menyumbangkan harta tanpa batas-batas tertentu.

v Pengaruh PMA Terhadap Wakaf

Untuk saat ini belum ada[22] karena baru mau di rintis. Sebab semisal orang Arab yang ingin memberikan wakaf, yaitu berupa bangunan (masjid, tempat yatim piatu, dll).

v Perkembangan Wakaf Di Indonesia[23]

Perkembangan wakaf di Indonesia sangatlah jauh lebih baik di bandingkan dengan di Negara-negara muslim lainnya, karena Indonesia memiliki kesadaran yang sangat tinggi bahwa wakaf itu penting, dibandingkan dengan Kwait, Maroko, Malaysia. Tetapi wakaf di Indonesia hamper sebanding dengan Singapura (perkebunan, pertanian, perikanan dan perkembangan industri).

v Keunggulan & Kelemahan Wakaf

Keunggulan :

- Menebarkan kebaikan kepada pihak yang memperoleh hasil wakaf dan

orang yang membutuhkan bantuan

- Amal kebaikan

- Untuk kesejahteraan umat

- Hartanya tidak boleh berkurang

- Sumber dana yang berlangsunmg lama

Kelemahan :

- Sistem pengurusan harta wakaf

- Aspek manajemennya

- Lemahnya SDM Nazhir yang professional, handal dan amanah

v Visi & Misi

Visi :

- Membangkitkan peran wakaf , sebagai penegak dan pembangkit ekonomi

umat

Misi :

- Mendorong pertumbuhan ekonomi umat serta optimalisasi peran wakaf

dalam sektor social dan ekonomi produktif.

v Tujuan Wakaf

Menjadikan sebuah lembaga nazhir wakaf dengan model suatu lembaga keuangan yang dapat melakukan kegiatan mobilitas penghimpunan harta benda dan dana wakaf guna memenuhi tuntutan kebutuhan masyarakat sekaligus ikut mendorong pembangunan social yang pemberdayaan ekonomi.

v Sasaran

Seluruh lapisan masyarakat yang memiliki kemampuan berwakaf dan masyarakat yang menjadi sasaran program pemberdayaan tabung wakaf Indonesia.



[1] Panduan pemberdayaan tanah wakaf produktif strategia di Indonesia_direktorat pemberdayaan wakaf.

[2] Nawawi, Ar-Raudhah, (Bairut : Dar al-Kutub al-Ilmiah) IV hal:377 dan Asy-Syarbini, Mughni al-Muhtaj, (Kairo:Musthafa Halabi), II hal:376.

[3] Al-Baijuri, Hasyiyah al-Baijuri, (Bairut : Dar al-Fiqr) Juz II hal:44

[4] Asy-Syarbini ap cit hal 377

[5] Ibid

[6] Al-Baijuri op cit

[7] Fiqh Wakaf_Proyek peningkatan zakat dan wakaf.

[8] Panduan pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis di Indonesia_direktorat pemberdayaan wakaf

[9] panduan pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis di Indonesia_direktorat pemberdayaan wakaf

[10] panduan pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis di Indonesia_direktorat pemberdayaan wakaf

[11] panduan pemberdayaan tanah wakaf produktif strategis di Indonesia_direktorat pemberdayaan wakaf

[12] pendapat Thobib al-Asyhar

[13] pendapan Thobib al-Asyhar

[14] pendapat Thobib al-Asyhar

[15] Achmad Djunaidi & Thobib al-Asyhar_Menuju Era Wakaf Produktif hal 47-60

[16] pendapat Thobib al-Asyhar

[17] pendapat thobib al-Asyhar

[18] Achmad Djunaidi & Thobib al-Asyhar_Menuju Era Wakaf Produktif hal 47-60)

[19] pendapat Thobib al-Asyhar

[20] Achmad Djunaidi & Thobib al-Asyhar_Menuju Era Wakaf Produktif

[21] pendapat Thobib al-Asyhar

[22] pendapat Thobib al-Asyhar

[23] pendapat Thobib al-Asyhar

ThaHarAh

THAHARAH

1. PENGERTIAN THAHARAH

Kata Thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kosa kata yang berarti bersih atau suci, lawan dari haid[1]. Seorang wanita dikatakan suci apabila dia telah selesai haid. Pengertian kata ini tergambar dari firman Allah SWT berikut ini :

Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah … (QS. 5:6)

… di dalamnya (surga) ada istri-istri yang suci…(QS. 2:25)

Kesucian itu tidak hanya berarti suci dari haid, tetapi juga suci dari najis dan kotoran batin, seperti kesucian diri dari perbuatan keji dan kesucian dari akhlak yang tercela.

Menurut istilah fiqh, thaharah ialah :

“ Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah.

Dengan kata lain, thaharah merupakan keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadas atau kotoran”.

2. HUKUM THAHARAH

Hukum thaharah ialah wajib, karena Allah menyukai orang-orang yang suci atau bersih dari segala hadas dan najis.

3. FUNGSI THAHARAH

Thaharah merupakan salah satu syarat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT. Untuk melakukan shalat umpamanya, seseorang terlebih dahulu harus melakukan wudu’ dan membersihkan najis yang melekat di badan. Demikian juga halnya dengan puasa yang tidak bolah dilakukan oleh orang yang dalam keadaan haid dan nifas. Dengan demikian fungsi thaharah adalah sebagai syarat untuk keabsahan suatu ibadah.[2]

4. TINGKATAN-TINGKATAN THAHARAH

Sebenarnya arti thaharah itu sangat luas, yang bisa kita golongkan sebagai berikut:

1) Membersihkan tubuh dari hadats, najis dan sebagainya.

2) Membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa.

3) Membersihkan jiwa, jangan sampai menyeleweng atau berakhlak rendah.

4) Kesucian para Nabi, yakni kebersihan hati mereka dari kemusyrikan kepada

Allah SWT[3].

5. SARANA THAHARAH

Sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudu’ atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk bertayammum, sebagai ganti air dalam berwudu’ atau mandi. Kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadas kecil atau hadas besar[4].

Air sebagai sarana thaharah terbagi kedalam beberapa macam, yakni :

1) Air suci lagi menyucikan disebut air mutlak. Ulama fiqh telah sepakat menetapkan bahwa air jenis ini suci zatnya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air hujan, air sumur, air salju, air mata air, air sungai dan air laut.

2) Air suci lagi menyucikan tetapi makruh memakainya. Air jenis ini merupakan sisa dari minuman binatang seperti ayam, kucing atau burung buas seperti elang dan lain-lain sebagainya. Air ini boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.

3) Air yang suci lagi menyucikan tetapi diragukan kesucianya, seperti air sisa minuman himar (keledai). Bilamana tidak ada air mutlak, air ini boleh dipakai untuk berwudu’ atau mandi, namun harus disertai dengan tayammum dalam rangka mewujudkan kehati-hatian. Bila berwudu’ terlebih dulu dengan air tersebut kemudian bertayamum, menurut kesepakatan ulama fiqh dibolehkan.

4) Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air yang sudah dipakai untuk mengangkatkan hadas atau bentuk ibadat lainnya seperti memperbaharui wudu’. Air sejenis ini tidak boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, tatapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis[5].

Di samping empat macam air yang disebut diatas ada lagi yang disebut air yang bercampur (al-mukhalatah), para ahli fiqh membagi air jenis ini menjadi dua macam, yaitu air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang bercampur dengan sesuatu yang tidak suci (najis).

1) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, seperti air mutlak bercampur susu, air buah atau nira dan sebagainya. Bilamana keadaannya berubah secara keseluruhan tidak sah digunakan untuk mengangkatkan hadas. Akan tetapi bila tidak berubah dalam keseluruhan, diperhatikan terlebih dahulu mana yang

lebih dominan. Apabila yang lebih dominan adalah air, maka boleh dipakai untuk menghilangkan hadas,. Bila yang lebih dominan adalah campurannya maka tidak sah dipakai.

2) Air yang bercampur najis. Air ini tidak boleh dipergunakan sama sekali, baik untuk menghilangkan hadas maupun kotoran. Najis-najis yang dapat mencampuri air tersebut ada yang disepakati oleh ulama mengenai kenajisannya dan hukum air yang dicampurinya, dan adapula yang diperbedakan. Adapun yang disepakati ialah :

a) Daging babi dengan seluruh bagian tubuh-tubuhnya.

b) Daging bangkai selain hewan air

c) Darah.

d) Kotoran manusia, karena Nabi SAW memerintahkan beristinja’ bagi orang

yang buang air besar atau kecil.

e) Air seni (baul)

f) Nanah. Nanah dipandang sebagai najis karena ia merupakan darah yang

mengalir.

g) Madzii’; yaitu air putih yang keluar dari kemaluan ketika bercumbu, tetapi

tidak dengan syahwat yang tinggi. Madzi dipandang najis karena Nabi

menyuruh membasuh bagian tubuh yang dikenainya (HR. Bukhari dan

Muslim).

h) Wadi’; yaitu air putih yang keluar mengiringi buang air kecil atau

membawa sesuatu yang berat. Wadi’ dipandang sebagai najis karena ia

keluar bersama air kencing.

i) Khamar

j) Daging dan air susu hewan yang tidak dimakan.

k) Bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup.

Adapun najis yang tidak disepakati oleh para ulama tentang kenajisan dan hukum

air yang di campurinya ialah :

a) Anjing

b) Bangkai hewan air dan hewan yang tidak mengalir darahnya.

c) Bagian bangkai yang tidak berdarah seperti tanduk dan tulang.

d) Kulit bangkai.

e) Kencing bayi yang belum makan, tetapi masih minum susu ibunya.

f) Kotoran binatang yang dimakan dagingnya, kencing dan sisa makanannya.

g) Mani, baik mani manusia maupun mani hewan.

h) Air bekas luka, bisul atau kudis.

i) Mayat manusia.

j) Air yang mengalir dari mulut orang yang sedang tidur.

6. ADAB THAHARAH

Kemudian dalam melakukan thaharah, ada sopan santun (adab) yang harus dipatuhi, ialah sebagai berikut :

1) Jangan menghadap ataupun membelakangi kiblat ketika bersuci (beristinja’)

dari buang air besar atau kecil[6]

2) Masuklah ke jamban dengan mendahulukan kaki kiri, dan keluarlah dengan kaki

kanan terlebih dahulu.

3) Jangan berbicara ketika buang air

4) Ucapkan sehabis buang air:

Artinya:

“ Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku penyakit dan menyehatkan aku “.

5) Bersiwaklah. Bahkan ketika wudu’, bersiwak itu sunnah mu’akad.

6) Dahulukan anggota-anggota tubuh bagian kanan ketika membasuh atau mengusap.

7) Hematlah dengan air.

8) Berdo’alah sehabis berwudu’, sebagaimana do’a Rasulullah SAW, dalam sabdaNya:

Artinya:

“ Tidak seorang pun diantara kamu sekalian yang berwudu’ dengan sempurna, kemudian membaca: “ Asyhadu ……. Dan seterusnya.” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya), kecuali pintu-pintu surga yang delapan dibukakan untuknya, ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.

9) Shalatlah dua rakaat sehabis wudu’

10) Sekalah air setelah wudu’ dan mandi.

7. MACAM – MACAM THAHARAH

Thaharah memiliki macam-macam, yaitu terdiri dari dua macam, antara lainnya adalah sebagai berikut :

1) Bersuci dari hadats, baik dari hadats besar maupun kecil. Jenis thaharah ini adalah

khusus yang mengenai tubuh, seperti wudu’, mandi dan tayammum[7].

Hadas ialah keadaan yang menghalangi thaharah. Hadas terdiri dari dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil adalah suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan wudu’ atau tayammum, sebagai ganti dari pada wudu’. Orang yang tidak berwudu’ disebut hadas kecil. Sedangkan hadas besar ialah suatu keadaaan seseorang yang mesti dibersihkan atau disucikan dengan mandi atau tayammum, sebagai ganti dari mandi, seperti orang yang sedang junub dan wanita yang sedang haid. Adapun kotoran adalah najis hakiki seperti darah, tinja dan lain-lain sebagainya[8].

2) Bersuci dari khubuts (najis), baik yang ada pada tubuh, pakaian maupun tempat, yaitu

dengan cara menghilangkan najis tersebut.

Najis secara garis besarnya terbagi kedalam dua macam, yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis hakiki adalah kotoran yang menghalangi keabsahan shalat tanpa ada keringanan, seperti darah dan kotoran manusia. Sedangkan najis hukmi ialah suatu hal yang dipandang ada pada anggota badan yang secara hukum menghalangi keabsahan shalat. Yang termasuk kedalam najis hukmi ialah hadas kecil yang harus dihilangkan dengan wudu’ dan hadas besar yang harus dihilangkan dengan mandi[9].

8. BENDA-BENDA YANG TERMASUK NAJIS

Suatu barang (benda) menurut hukum aslinya ialah suci selama tak ada dalil yang menunjukan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak diantaranya :

1) Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia.

Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang, serta mayat manusia, semuanya suci.

2) Darah.

Segala macam darah itu adalah najis, selain hati dan limpa. Dikecualikan juga darah yang tertinggal didalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah itu suci atau dimaafkan, artinya diperbolehkan atau dihalalkan.

3) Nanah.

Segala macam nanah pun najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk,

4) Segala macam cairan yang keluar dari dua pintu.

Semua itu najis selain dari mani, baik yang biasa seperti tinja, air kencing ataupun ataupun yang tidak biasa seperti madzi, baik dari hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.

5) Arak; setiap minumam keras yang memabukkan.

6) Anjing dan babi.

7) Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selain hidup.

Hukum bagian – bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu najis, seperti babi. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal halal dimakan, hukumnya suci[10].

9. KAIFIAT (CARA) MENYUCIKAN BENDA YANG KENA NAJIS

Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang terkena najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi menjadi tiga bagian:

1) Najis mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaknya

di basuh tujuh kali, satu kali diantaranya hendaknya dibasuh dengan air yang

di campur dengan tanah.

2) Najis mukhaffafah (ringan) , misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan selain ASI. Mencuci benda yang kena najis ini sudah memadai dengan memercikkan air pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan hendaknya dibasuh sampai air mengalir diatas benda yang terkena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing rang dewasa.

3) Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua macam yang tersebut diatas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua macam, yaitu :

a. Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa

dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya

telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena najis itu.

b. Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa dan baunya, kecuali warna

atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara

mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, bau dan warnanya[11].

10. HIKMAH THAHARAH

Adapun hikmah thaharah diantaranya ialah :

1) Agar kita dalam menjalankan ibadah syah hukumnya.

2) Agar badan kita suci dari hadast dan najis.

3) Agar kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena Allah SWT

sangat menyukai rang-rang yang suci atau bersih dari segala macam hadats

dan najis.



[1] Abu Jayb, Al-Qmus al-fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, Dar al-Fiqh, 1988, hal. 233

[2] Musa Kamil, Ahkam al-Ibadah: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-Fikr, 1991 M / 1411 H hal. 27-28

[3] Anshri Umar, Fiqh Wanita, hal: 29

[4] Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Sabul al-Salam, Jilid I, Maktabah Dahlan, Bandung, t.t, hal. 15

[5] Ibid., hal. 29-30

[6] Anshri Umar, Fiqh Wanita hal. 29

[7] Anshri Umar, Fiqh Wanita hal. 29

[8] Musa, Kamil, Ahkam al-Ibadah: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-Fiqr, 1991 M / 1411 H hal. 27-28

[9] Wahbah Zuhayli, p. cit., hal. 149

[10] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam hal. 16, 17, 18, 19 dan 20

[11] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam hal. 21-22