Rabu, 15 April 2009

ThaHarAh

THAHARAH

1. PENGERTIAN THAHARAH

Kata Thaharah berasal dari bahasa Arab yang secara etimologi terambil dari kosa kata yang berarti bersih atau suci, lawan dari haid[1]. Seorang wanita dikatakan suci apabila dia telah selesai haid. Pengertian kata ini tergambar dari firman Allah SWT berikut ini :

Jika kamu junub (berhadas besar), maka bersucilah … (QS. 5:6)

… di dalamnya (surga) ada istri-istri yang suci…(QS. 2:25)

Kesucian itu tidak hanya berarti suci dari haid, tetapi juga suci dari najis dan kotoran batin, seperti kesucian diri dari perbuatan keji dan kesucian dari akhlak yang tercela.

Menurut istilah fiqh, thaharah ialah :

“ Menghilangkan hadas atau najis yang menghalangi ibadah-ibadah sejenisnya dengan air, atau menghilangkan hukumnya (hadas dan najis) dengan tanah.

Dengan kata lain, thaharah merupakan keadaan yang terjadi sebagai akibat hilangnya hadas atau kotoran”.

2. HUKUM THAHARAH

Hukum thaharah ialah wajib, karena Allah menyukai orang-orang yang suci atau bersih dari segala hadas dan najis.

3. FUNGSI THAHARAH

Thaharah merupakan salah satu syarat untuk melakukan ibadah kepada Allah SWT. Untuk melakukan shalat umpamanya, seseorang terlebih dahulu harus melakukan wudu’ dan membersihkan najis yang melekat di badan. Demikian juga halnya dengan puasa yang tidak bolah dilakukan oleh orang yang dalam keadaan haid dan nifas. Dengan demikian fungsi thaharah adalah sebagai syarat untuk keabsahan suatu ibadah.[2]

4. TINGKATAN-TINGKATAN THAHARAH

Sebenarnya arti thaharah itu sangat luas, yang bisa kita golongkan sebagai berikut:

1) Membersihkan tubuh dari hadats, najis dan sebagainya.

2) Membersihkan anggota tubuh dari perbuatan dosa.

3) Membersihkan jiwa, jangan sampai menyeleweng atau berakhlak rendah.

4) Kesucian para Nabi, yakni kebersihan hati mereka dari kemusyrikan kepada

Allah SWT[3].

5. SARANA THAHARAH

Sarana atau alat untuk thaharah terdiri dari air dan tanah. Air dapat dipergunakan untuk berwudu’ atau mandi, sedangkan tanah dapat digunakan untuk bertayammum, sebagai ganti air dalam berwudu’ atau mandi. Kedua sarana ini digunakan untuk bersuci dari hadas kecil atau hadas besar[4].

Air sebagai sarana thaharah terbagi kedalam beberapa macam, yakni :

1) Air suci lagi menyucikan disebut air mutlak. Ulama fiqh telah sepakat menetapkan bahwa air jenis ini suci zatnya dan dapat menyucikan hadas atau najis, seperti air hujan, air sumur, air salju, air mata air, air sungai dan air laut.

2) Air suci lagi menyucikan tetapi makruh memakainya. Air jenis ini merupakan sisa dari minuman binatang seperti ayam, kucing atau burung buas seperti elang dan lain-lain sebagainya. Air ini boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, akan tetapi hukumnya makruh, dan malah makruh tanzih bilamana ada air yang lain.

3) Air yang suci lagi menyucikan tetapi diragukan kesucianya, seperti air sisa minuman himar (keledai). Bilamana tidak ada air mutlak, air ini boleh dipakai untuk berwudu’ atau mandi, namun harus disertai dengan tayammum dalam rangka mewujudkan kehati-hatian. Bila berwudu’ terlebih dulu dengan air tersebut kemudian bertayamum, menurut kesepakatan ulama fiqh dibolehkan.

4) Air yang suci tetapi tidak menyucikan, yaitu air yang sudah dipakai untuk mengangkatkan hadas atau bentuk ibadat lainnya seperti memperbaharui wudu’. Air sejenis ini tidak boleh dipakai untuk mengangkatkan hadas, tatapi boleh dipakai untuk menghilangkan najis[5].

Di samping empat macam air yang disebut diatas ada lagi yang disebut air yang bercampur (al-mukhalatah), para ahli fiqh membagi air jenis ini menjadi dua macam, yaitu air yang bercampur dengan sesuatu yang suci dan air yang bercampur dengan sesuatu yang tidak suci (najis).

1) Air yang bercampur dengan sesuatu yang suci, seperti air mutlak bercampur susu, air buah atau nira dan sebagainya. Bilamana keadaannya berubah secara keseluruhan tidak sah digunakan untuk mengangkatkan hadas. Akan tetapi bila tidak berubah dalam keseluruhan, diperhatikan terlebih dahulu mana yang

lebih dominan. Apabila yang lebih dominan adalah air, maka boleh dipakai untuk menghilangkan hadas,. Bila yang lebih dominan adalah campurannya maka tidak sah dipakai.

2) Air yang bercampur najis. Air ini tidak boleh dipergunakan sama sekali, baik untuk menghilangkan hadas maupun kotoran. Najis-najis yang dapat mencampuri air tersebut ada yang disepakati oleh ulama mengenai kenajisannya dan hukum air yang dicampurinya, dan adapula yang diperbedakan. Adapun yang disepakati ialah :

a) Daging babi dengan seluruh bagian tubuh-tubuhnya.

b) Daging bangkai selain hewan air

c) Darah.

d) Kotoran manusia, karena Nabi SAW memerintahkan beristinja’ bagi orang

yang buang air besar atau kecil.

e) Air seni (baul)

f) Nanah. Nanah dipandang sebagai najis karena ia merupakan darah yang

mengalir.

g) Madzii’; yaitu air putih yang keluar dari kemaluan ketika bercumbu, tetapi

tidak dengan syahwat yang tinggi. Madzi dipandang najis karena Nabi

menyuruh membasuh bagian tubuh yang dikenainya (HR. Bukhari dan

Muslim).

h) Wadi’; yaitu air putih yang keluar mengiringi buang air kecil atau

membawa sesuatu yang berat. Wadi’ dipandang sebagai najis karena ia

keluar bersama air kencing.

i) Khamar

j) Daging dan air susu hewan yang tidak dimakan.

k) Bagian tubuh yang terpisah dari hewan yang masih hidup.

Adapun najis yang tidak disepakati oleh para ulama tentang kenajisan dan hukum

air yang di campurinya ialah :

a) Anjing

b) Bangkai hewan air dan hewan yang tidak mengalir darahnya.

c) Bagian bangkai yang tidak berdarah seperti tanduk dan tulang.

d) Kulit bangkai.

e) Kencing bayi yang belum makan, tetapi masih minum susu ibunya.

f) Kotoran binatang yang dimakan dagingnya, kencing dan sisa makanannya.

g) Mani, baik mani manusia maupun mani hewan.

h) Air bekas luka, bisul atau kudis.

i) Mayat manusia.

j) Air yang mengalir dari mulut orang yang sedang tidur.

6. ADAB THAHARAH

Kemudian dalam melakukan thaharah, ada sopan santun (adab) yang harus dipatuhi, ialah sebagai berikut :

1) Jangan menghadap ataupun membelakangi kiblat ketika bersuci (beristinja’)

dari buang air besar atau kecil[6]

2) Masuklah ke jamban dengan mendahulukan kaki kiri, dan keluarlah dengan kaki

kanan terlebih dahulu.

3) Jangan berbicara ketika buang air

4) Ucapkan sehabis buang air:

Artinya:

“ Segala puji bagi Allah yang telah menghilangkan dariku penyakit dan menyehatkan aku “.

5) Bersiwaklah. Bahkan ketika wudu’, bersiwak itu sunnah mu’akad.

6) Dahulukan anggota-anggota tubuh bagian kanan ketika membasuh atau mengusap.

7) Hematlah dengan air.

8) Berdo’alah sehabis berwudu’, sebagaimana do’a Rasulullah SAW, dalam sabdaNya:

Artinya:

“ Tidak seorang pun diantara kamu sekalian yang berwudu’ dengan sempurna, kemudian membaca: “ Asyhadu ……. Dan seterusnya.” (Aku bersaksi bahwa tiada Tuhan selain Allah Yang Maha Esa, tiada sekutu bagi-Nya. Dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu hamba Allah dan utusan-Nya), kecuali pintu-pintu surga yang delapan dibukakan untuknya, ia boleh masuk dari pintu mana saja yang ia kehendaki.

9) Shalatlah dua rakaat sehabis wudu’

10) Sekalah air setelah wudu’ dan mandi.

7. MACAM – MACAM THAHARAH

Thaharah memiliki macam-macam, yaitu terdiri dari dua macam, antara lainnya adalah sebagai berikut :

1) Bersuci dari hadats, baik dari hadats besar maupun kecil. Jenis thaharah ini adalah

khusus yang mengenai tubuh, seperti wudu’, mandi dan tayammum[7].

Hadas ialah keadaan yang menghalangi thaharah. Hadas terdiri dari dua macam, yaitu hadas kecil dan hadas besar. Hadas kecil adalah suatu keadaan seseorang yang dapat disucikan dengan wudu’ atau tayammum, sebagai ganti dari pada wudu’. Orang yang tidak berwudu’ disebut hadas kecil. Sedangkan hadas besar ialah suatu keadaaan seseorang yang mesti dibersihkan atau disucikan dengan mandi atau tayammum, sebagai ganti dari mandi, seperti orang yang sedang junub dan wanita yang sedang haid. Adapun kotoran adalah najis hakiki seperti darah, tinja dan lain-lain sebagainya[8].

2) Bersuci dari khubuts (najis), baik yang ada pada tubuh, pakaian maupun tempat, yaitu

dengan cara menghilangkan najis tersebut.

Najis secara garis besarnya terbagi kedalam dua macam, yaitu najis hakiki dan najis hukmi. Najis hakiki adalah kotoran yang menghalangi keabsahan shalat tanpa ada keringanan, seperti darah dan kotoran manusia. Sedangkan najis hukmi ialah suatu hal yang dipandang ada pada anggota badan yang secara hukum menghalangi keabsahan shalat. Yang termasuk kedalam najis hukmi ialah hadas kecil yang harus dihilangkan dengan wudu’ dan hadas besar yang harus dihilangkan dengan mandi[9].

8. BENDA-BENDA YANG TERMASUK NAJIS

Suatu barang (benda) menurut hukum aslinya ialah suci selama tak ada dalil yang menunjukan bahwa benda itu najis. Benda najis itu banyak diantaranya :

1) Bangkai binatang darat yang berdarah selain dari mayat manusia.

Adapun bangkai binatang laut seperti ikan dan bangkai binatang darat yang tidak berdarah ketika masih hidupnya seperti belalang, serta mayat manusia, semuanya suci.

2) Darah.

Segala macam darah itu adalah najis, selain hati dan limpa. Dikecualikan juga darah yang tertinggal didalam daging binatang yang sudah disembelih, begitu juga darah ikan. Kedua macam darah itu suci atau dimaafkan, artinya diperbolehkan atau dihalalkan.

3) Nanah.

Segala macam nanah pun najis, baik yang kental maupun yang cair, karena nanah itu merupakan darah yang sudah busuk,

4) Segala macam cairan yang keluar dari dua pintu.

Semua itu najis selain dari mani, baik yang biasa seperti tinja, air kencing ataupun ataupun yang tidak biasa seperti madzi, baik dari hewan yang halal dimakan ataupun yang tidak halal dimakan.

5) Arak; setiap minumam keras yang memabukkan.

6) Anjing dan babi.

7) Bagian badan binatang yang diambil dari tubuhnya selain hidup.

Hukum bagian – bagian badan binatang yang diambil selagi hidup ialah seperti bangkainya. Maksudnya, kalau bangkainya najis, maka yang dipotong itu najis, seperti babi. Kalau bangkainya suci, yang dipotong sewaktu hidupnya pun suci pula, seperti yang diambil dari ikan hidup. Dikecualikan bulu hewan yang halal halal dimakan, hukumnya suci[10].

9. KAIFIAT (CARA) MENYUCIKAN BENDA YANG KENA NAJIS

Untuk melakukan kaifiat mencuci benda yang terkena najis, terlebih dahulu akan diterangkan bahwa najis terbagi menjadi tiga bagian:

1) Najis mugallazah (tebal), yaitu najis anjing. Benda yang terkena najis ini hendaknya

di basuh tujuh kali, satu kali diantaranya hendaknya dibasuh dengan air yang

di campur dengan tanah.

2) Najis mukhaffafah (ringan) , misalnya kencing anak laki-laki yang belum memakan makanan selain ASI. Mencuci benda yang kena najis ini sudah memadai dengan memercikkan air pada benda itu, meskipun tidak mengalir. Adapun kencing anak perempuan hendaknya dibasuh sampai air mengalir diatas benda yang terkena najis itu, dan hilang zat najis dan sifat-sifatnya, sebagaimana mencuci kencing rang dewasa.

3) Najis mutawassitah (pertengahan), yaitu najis yang lain dari pada kedua macam yang tersebut diatas. Najis pertengahan ini terbagi atas dua macam, yaitu :

a. Najis hukmiah, yaitu yang kita yakini adanya, tetapi tidak nyata zat, bau, rasa

dan warnanya, seperti kencing yang sudah lama kering, sehingga sifat-sifatnya

telah hilang. Cara mencuci najis ini cukup dengan mengalirkan air diatas benda yang kena najis itu.

b. Najis ‘ainiyah, yaitu yang masih ada zat, warna, rasa dan baunya, kecuali warna

atau bau yang sangat sukar menghilangkannya, sifat ini dimaafkan. Cara

mencuci najis ini hendaklah dengan menghilangkan zat, rasa, bau dan warnanya[11].

10. HIKMAH THAHARAH

Adapun hikmah thaharah diantaranya ialah :

1) Agar kita dalam menjalankan ibadah syah hukumnya.

2) Agar badan kita suci dari hadast dan najis.

3) Agar kita bisa lebih mendekatkan diri kepada Allah SWT, karena Allah SWT

sangat menyukai rang-rang yang suci atau bersih dari segala macam hadats

dan najis.



[1] Abu Jayb, Al-Qmus al-fiqhiyah Lughatan wa Isthilahan, Dar al-Fiqh, 1988, hal. 233

[2] Musa Kamil, Ahkam al-Ibadah: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-Fikr, 1991 M / 1411 H hal. 27-28

[3] Anshri Umar, Fiqh Wanita, hal: 29

[4] Al-Kahlani, Muhammad bin Ismail, Sabul al-Salam, Jilid I, Maktabah Dahlan, Bandung, t.t, hal. 15

[5] Ibid., hal. 29-30

[6] Anshri Umar, Fiqh Wanita hal. 29

[7] Anshri Umar, Fiqh Wanita hal. 29

[8] Musa, Kamil, Ahkam al-Ibadah: Shalat, Zakat, Shaum, Hajj, Dar al-Fiqr, 1991 M / 1411 H hal. 27-28

[9] Wahbah Zuhayli, p. cit., hal. 149

[10] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam hal. 16, 17, 18, 19 dan 20

[11] H. Sulaiman Rasyid, Fiqh Islam hal. 21-22

Tidak ada komentar:

Posting Komentar